Menjelajahi Bandung 1980, Sepotong Kisah Manis dari Penjual Oncom dan Kacang Kosambi
Menjelajahi Bandung 1980, Sepotong Kisah Manis dari Penjual Oncom dan Kacang Kosambi

Menjelajahi Bandung 1980, Sepotong Kisah Manis dari Penjual Oncom dan Kacang Kosambi

Sajikabar – Bandung di tahun 80-an… Ah, siapa yang tak rindu? Terutama bagi mereka yang pernah merasakan denyut nadi kota kembang kala itu. Bayangkan saja, di tengah kesederhanaan, ada cerita tentang para pedagang kecil di Pasar Kosambi. Mereka, para penjual oncom dan kacang kosambi, adalah bagian penting dari ingatan kolektif kota ini. Lebih dari sekadar jual beli, di sana ada interaksi sosial yang hangat dan tentunya, cita rasa Bandung yang khas.

Pasar Kosambi 1980-an: Lebih dari Sekadar Tempat Belanja

Pasar Kosambi di era itu bukan hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli. Ia adalah jantung kehidupan sosial dan ekonomi warga Bandung. Bayangkan hiruk pikuk tawar menawar, aroma rempah yang menggoda, dan senyum ramah para pedagang. Suasana yang benar-benar bikin kangen! “Pasar Kosambi dulu itu segalanya. Mau cari apa saja ada, dari sayuran segar sampai baju,” kenang Ibu Atik, seorang warga yang sering berbelanja di sana.

Sekilas Kehidupan Pasar yang Sederhana

Suasana Pasar Kosambi tahun 80-an jelas beda dengan pasar modern sekarang. Bangunan semi permanen dan lorong-lorong sempitnya justru menambah kesan otentik. Para pedagang biasanya berjualan dengan gerobak dorong atau lapak sederhana yang tertata rapi. Dari subuh sampai malam, pasar ini tak pernah sepi. Ada obrolan ringan, sapaan akrab antara pedagang dan pembeli. Benar-benar hangat!

“Dulu, belanja di pasar itu bukan cuma cari yang murah, tapi juga silaturahmi. Kenal sama penjualnya, bisa ngobrol ini itu,” cerita Bapak Anwar, seorang pensiunan guru yang dulu langganan Pasar Kosambi.

Kacang Kosambi dan Oncom: Ikon Rasa Bandung

Dari sekian banyak yang dijual di Pasar Kosambi, kacang kosambi dan oncom adalah dua ikon kuliner yang tak lekang oleh waktu. Kacang kosambi yang gurih dan renyah jadi camilan favorit semua kalangan. Sementara oncom, hasil fermentasi ampas tahu, jadi bahan utama berbagai masakan Sunda yang bikin nagih. Para penjualnya biasa berkeliling pasar atau mangkal di tempat-tempat strategis.

Kacang kosambi dan oncom bukan sekadar jajanan atau bahan masakan. Keduanya adalah identitas kuliner Bandung yang kaya dan beragam. Kehadiran para penjualnya juga turut meramaikan Pasar Kosambi dan memberikan warna tersendiri bagi kehidupan kota di era 80-an.

Nostalgia Bandung Tempo Dulu: Lebih dari Sekadar Pasar

Mengenang Bandung di tahun 80-an bukan hanya soal Pasar Kosambi dan jual beli. Ini tentang suasana kota yang berbeda, nilai-nilai yang dijunjung tinggi, dan memori kolektif yang membentuk identitas warga Bandung.

Suasana Kota yang Bikin Rindu

Bandung di era 80-an jauh berbeda dengan sekarang. Kota ini masih relatif sepi dan tenang, jauh dari macet dan bising. Udaranya masih segar, pepohonan hijau masih mendominasi pemandangan. Masyarakatnya dikenal ramah, sopan, dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.

“Dulu, Bandung itu adem ayem. Nggak kayak sekarang, macet dan bising,” kata Ibu Tati, seorang ibu rumah tangga yang sudah lama tinggal di Bandung.

Nilai-Nilai yang Terjaga dengan Baik

Salah satu ciri khas Bandung di era 80-an adalah kuatnya nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal. Gotong royong, saling membantu, dan menghormati orang tua adalah bagian dari keseharian. Masyarakat Bandung masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi Sunda, seperti kesenian, bahasa, dan kuliner.

Nilai-nilai inilah yang membentuk karakter masyarakat Bandung yang ramah, toleran, dan punya rasa persaudaraan yang tinggi. “Orang Bandung dulu itu saling menghargai, nggak peduli suku atau agama. Hidup rukun dan damai,” ungkap Bapak Herman, seorang tokoh masyarakat Bandung.

Kehidupan di Bandung tahun 80-an, dengan segala kesederhanaan dan kehangatannya, meninggalkan kesan mendalam bagi mereka yang pernah mengalaminya. Kenangan tentang Pasar Kosambi, kacang kosambi, oncom, dan suasana kota yang berbeda menjadi bagian tak terpisahkan dari memori kolektif Bandung. Nostalgia ini menjadi pengingat tentang nilai-nilai luhur yang perlu dijaga dan dilestarikan di tengah arus modernisasi yang semakin pesat.

Walaupun banyak perubahan terjadi seiring waktu, semangat Bandung tempo dulu, dengan keramahan dan kebersamaannya, diharapkan tetap menjadi inspirasi bagi generasi sekarang. Upaya pelestarian budaya dan tradisi lokal pun semakin gencar dilakukan untuk menjaga identitas Bandung sebagai kota yang berbudaya dan berkarakter. ***

Tentang Novita Ayu

Salam travelers! Saya seorang backpacker yang sudah menjelajahi berbagai tempat. Yuk, ikuti adventure saya dan dapatkan inspirasi serta tips traveling yang berguna!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Berita Terbaru