Sajikabar – Fenomena childfree, atau memilih untuk tidak punya anak, makin sering jadi bahan obrolan, terutama di kalangan warga kota Indonesia. Di kota-kota besar, ini bukan sekadar topik diskusi ringan, tapi sudah jadi keputusan nyata yang diambil banyak pasangan. Kira-kira, kenapa ya? Apa yang bikin orang di tengah gaya hidup modern dan tekanan sana-sini, justru milih jalan hidup tanpa kehadiran anak? Nah, kita coba bedah satu-satu alasan di balik tren childfree yang lagi naik daun di kota-kota.
Media Sosial dan Gaya Hidup Kota Jadi Biang Keladi?
Nggak bisa dipungkiri, media sosial punya andil besar dalam membentuk pandangan dan pilihan hidup kita, termasuk soal keputusan punya anak atau nggak. Informasi tentang gaya hidup alternatif, kebebasan finansial, pengembangan diri, sampai dampak lingkungan dari populasi yang makin padat, gampang banget ditemuin di dunia maya. Ini membuka mata banyak orang, khususnya mereka yang tinggal di kota dan punya akses lebih luas ke informasi dan tren dari seluruh dunia.
“Media sosial itu kayak corong yang nyebarin informasi dengan cepat dan luas banget. Jadi, pasangan muda lebih gampang dapet berbagai sudut pandang soal childfree,” kata Dr. Anita Rahman, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, waktu diwawancarai. Menurutnya, tren ini bukan sekadar ikut-ikutan, tapi hasil dari pertimbangan matang berdasarkan informasi yang mereka dapat.
Selain itu, lingkungan kota yang serba kompetitif dengan tuntutan karir yang tinggi juga jadi faktor. Banyak pasangan yang ngerasa susah banget buat bagi waktu antara kerjaan, pengembangan diri, dan ngurus anak. Pilihan childfree dianggap jadi jalan keluar buat mencapai stabilitas keuangan dan punya kebebasan pribadi yang lebih besar.
Sebenarnya, Seberapa Banyak Sih yang Childfree di Indonesia?
Meskipun makin banyak yang ngomongin soal childfree, data nunjukkin kalau tren ini sebenarnya masih minoritas di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 nyatet ada sekitar 71 ribu wanita umur 15-49 tahun yang bilang nggak mau punya anak. Angka ini emang keliatan lumayan, tapi kalau dibandingin sama total populasi wanita usia subur di Indonesia, persentasenya masih kecil.
Pulau Jawa jadi pusatnya tren childfree di Indonesia. DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten nyatet proporsi kasus childfree paling tinggi. Tiap wilayahnya ngelaporin angka di atas 10 persen di tahun 2022. Ini ngasih tau kita kalau urbanisasi dan gaya hidup modern punya hubungan sama minat yang makin tinggi buat hidup childfree.
Tapi, perlu diinget juga, angka-angka ini cuma nunjukkin keinginan buat nggak punya anak pas survei itu dilakuin. Keputusan seseorang bisa aja berubah seiring waktu dan perubahan kondisi hidupnya.
Kenapa Sih Orang Milih Childfree? Nggak Cuma Sekadar Ikut-Ikutan!
Faktor Ekonomi dan Kesehatan Jadi Pertimbangan Utama
Keputusan buat childfree bukan cuma karena lagi ngetren doang. Ada banyak faktor mendalam yang jadi alasan di balik pilihan ini, mulai dari masalah ekonomi sampai kesehatan. Biaya hidup yang makin mahal di kota, terutama buat pendidikan dan kesehatan anak, jadi pertimbangan penting. Banyak pasangan yang ngerasa nggak sanggup ngasih kehidupan yang layak buat anak kalau harus berjuang dengan tekanan keuangan yang berat.
“Kita pengen fokus ngembangin karir dan nikmatin hidup berdua aja. Biaya gedein anak sekarang mahal banget, kita takut nggak bisa ngasih yang terbaik,” curhat Rina, seorang karyawan swasta di Jakarta yang milih childfree.
Selain ekonomi, masalah kesehatan juga jadi pertimbangan penting. Pasangan yang punya riwayat penyakit genetik atau masalah kesehatan reproduksi seringkali milih childfree buat ngehindarin risiko nurunin penyakit ke anak atau ngadepin komplikasi kehamilan yang bahaya.
Trauma Masa Lalu Ikut Berpengaruh
Pengalaman traumatis di masa lalu, kayak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau tumbuh di keluarga yang nggak harmonis, bisa juga pengaruhi keputusan seseorang buat childfree. Mereka mungkin ngerasa belum siap jadi orang tua karena trauma yang belum selesai atau khawatir bakal ngulang pola asuh yang negatif ke anak-anaknya nanti.
“Aku gede di keluarga yang penuh kekerasan. Aku nggak mau anakku ngalamin hal yang sama,” cerita Dian, seorang konselor yang milih childfree karena trauma masa kecilnya. Menurutnya, keputusan ini adalah cara dia melindungi anak dari potensi penderitaan.
Apa Dampaknya Buat Angka Kelahiran di Indonesia?
Meskipun tren childfree masih kecil di Indonesia, pemerintah tetep kasih perhatian khusus soal ini. Kekhawatiran utamanya adalah potensi penurunan angka kelahiran nasional (Total Fertility Rate/TFR) kalau tren childfree terus naik secara signifikan. TFR itu rata-rata jumlah anak yang dilahirin seorang wanita selama masa reproduksinya.
Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN), bilang penting banget buat ngawasin perkembangan tren childfree biar nggak berdampak negatif ke demografi Indonesia. “Kalau tren ini terus digaungkan, kita bisa ngarah ke krisis kelahiran kayak negara-negara maju di Asia Timur,” katanya.
Tapi, BKKBN juga ngakuin kalau keputusan buat punya anak atau nggak itu hak individu yang harus dihormati. Pemerintah lebih fokus buat ningkatin kualitas hidup keluarga dan ngasih dukungan yang cukup buat pasangan yang pengen punya anak, kayak akses ke layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan program dukungan keuangan.
Di sisi lain, sebagian ahli berpendapat kalau fokus utamanya seharusnya bukan ngejar angka kelahiran, tapi ningkatin kualitas sumber daya manusia. Memastikan anak-anak yang lahir tumbuh sehat, pintar, dan punya daya saing tinggi jauh lebih penting daripada sekadar ngejar kuantitas populasi.
Fenomena childfree di Indonesia itu isu yang kompleks, ngelibatin berbagai faktor sosial, ekonomi, dan psikologis. Meskipun masih minoritas, tren ini nunjukkin adanya perubahan nilai dan prioritas di kalangan masyarakat kota. Pemerintah perlu terus mantau perkembangan tren ini dan ngambil kebijakan yang tepat buat ngejaga keseimbangan demografi dan ningkatin kualitas hidup keluarga Indonesia. Sementara itu, masyarakat perlu ngehormatin pilihan individu dan ngehindarin stigma ke mereka yang milih jalan hidup yang beda. ***