Sajikabar – Pinset nyangkut di tubuh selama empat tahun? Kedengarannya seperti adegan film horor, tapi ini kejadian nyata yang bikin para dokter geleng-geleng kepala. Semua berawal saat seorang pria datang ke rumah sakit mengeluhkan sakit yang tak kunjung sembuh. Setelah diperiksa, hasil rontgen menunjukkan sesuatu yang aneh: sebuah pinset berukuran 8 sentimeter bersarang di area vitalnya.
Pinset ‘Nongkrong’ di Dalam Tubuh: Kisah yang Bikin Merinding
Awalnya, pria berusia 22 tahun ini mengeluh sakit yang lokasinya dirahasiakan. Tim medis yang melakukan pemeriksaan, termasuk rontgen, langsung kaget bukan main. Di dalam tubuhnya, ‘bersemayam’ sebuah pinset! Lebih mengejutkan lagi, si pasien mengaku benda itu sudah ada di sana selama empat tahunan. Pertanyaan langsung muncul: kok bisa ya pinset bertahan selama itu tanpa bikin masalah yang lebih parah?
“Kami benar-benar kaget. Kasus kayak gini jarang banget dan butuh penanganan super hati-hati,” kata dr. Adi Nugroho, seorang urolog yang ikut menangani kasus ini. Bayangkan saja, pinset itu kan benda tajam dan keras. Kalau tidak segera ditangani, bisa-bisa menimbulkan infeksi, peradangan, atau bahkan merusak organ dalam.
Kenapa Bisa Kejadian? Misteri yang Belum Terpecahkan
Motivasi di balik aksi nekat memasukkan pinset ini masih jadi teka-teki. Tim dokter menduga ada beberapa faktor yang mungkin jadi penyebabnya. Bisa jadi karena masalah psikologis, atau mungkin eksperimen seksual yang berbahaya. Dari studi kasus serupa, tindakan memasukkan benda asing ke saluran kemih sering dikaitkan dengan masalah kejiwaan, pengaruh alkohol atau narkoba, disorientasi, atau rasa ingin tahu yang berlebihan yang akhirnya menjurus ke perilaku berisiko.
“Pada beberapa kasus, pasien dengan masalah kejiwaan mungkin melakukan ini sebagai cara melampiaskan emosi atau mengekspresikan diri yang enggak wajar,” jelas dr. Lisa Kartika, seorang psikiater yang ikut memberikan konsultasi. “Tapi, tanpa pemeriksaan lebih lanjut, susah untuk memastikan apa motif sebenarnya.”
Ada juga teori yang menyebutkan kalau ini mungkin bagian dari aktivitas seksual yang tidak biasa. Beberapa orang mungkin mencoba memasukkan benda asing untuk meningkatkan sensasi atau memuaskan fantasi tertentu. Tapi, ya jelas ini berbahaya banget dan bisa menyebabkan cedera serius.
Proses Pengangkatan Pinset: Bukan Sekadar Tarik Ulur
Mengeluarkan pinset ini bukan perkara mudah. Tim medis harus ekstra hati-hati supaya tidak merusak jaringan di sekitarnya. Pasien dibius total supaya tidak merasakan sakit selama operasi. Tantangan terbesarnya adalah posisi pinset yang terbuka dan menjepit jaringan di dalam saluran kemih.
“Pinsetnya itu terbuka dan menekan jaringan di sekitarnya. Kami harus pelan-pelan banget menutupnya lagi tanpa melukai jaringan yang sudah tertekan,” jelas dr. Adi. Untuk mengatasinya, seorang asisten bedah harus menekan sisi batang penis pasien untuk menutup pinset secara perlahan. Setelah berhasil ditutup, barulah pinset bisa ditarik keluar dari uretra tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti.
Operasi ini memakan waktu sekitar dua jam dan melibatkan tim medis yang terdiri dari dokter urologi, ahli anestesi, dan perawat bedah. Keberhasilan operasi ini benar-benar bergantung pada ketelitian dan kerja sama tim.
Setelah Operasi: Menolak Bantuan Psikologis
Setelah pinset berhasil dikeluarkan, pasien dipastikan bisa buang air kecil dengan normal. Ia pun diperbolehkan pulang. Tapi, tim medis menyarankan agar ia menjalani evaluasi psikiatris untuk mengetahui penyebab pasti tindakannya dan mencegah kejadian serupa terulang. Sayangnya, si pasien menolak tawaran ini dan tidak menindaklanjuti dengan kunjungan rawat jalan.
“Kami sangat menyayangkan keputusannya untuk tidak melanjutkan konsultasi psikiatris. Kami khawatir dia akan melakukan hal serupa lagi,” kata dr. Lisa. “Penting bagi pasien untuk mendapatkan bantuan psikologis supaya bisa mengatasi masalah yang mendasarinya.”
Motivasi Tersembunyi dan Rasa Malu yang Membayangi
Alasan paling umum orang memasukkan benda asing ke uretra adalah untuk kepuasan seksual dan autoerotik, terutama saat masturbasi. Tapi, pasien seringkali merasa bersalah dan malu, sehingga menunda mencari bantuan medis. Penundaan ini bisa memperburuk kondisi dan meningkatkan risiko komplikasi.
Dalam kasus ini, penolakan pasien untuk menjalani konsultasi psikiatris mungkin karena rasa malu atau takut akan stigma negatif yang terkait dengan masalah kejiwaan. Padahal, konsultasi ini sangat penting untuk membantunya memahami dan mengatasi masalahnya.
Kasus ini jadi pengingat buat kita semua tentang pentingnya kesehatan mental dan perilaku seksual yang aman. Jika kamu atau orang yang kamu kenal mengalami masalah serupa, jangan ragu untuk mencari bantuan medis dan psikologis. Semakin cepat ditangani, semakin besar peluang untuk mencegah komplikasi yang lebih serius.
Harapannya, kasus seperti ini bisa dicegah dengan memberikan edukasi seksual yang komprehensif dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental. Selain itu, peran keluarga dan lingkungan sosial juga krusial dalam memberikan dukungan dan mencegah perilaku berisiko. ***