Sajikabar – Bulan Juli 2025 nanti, Bumi kita akan berada di titik terjauhnya dari Matahari. Istilah kerennya, aphelion. Setiap tahun, momen ini selalu jadi perbincangan, seringkali dikaitkan dengan perubahan suhu dan cuaca. Tapi, apa sebenarnya aphelion itu? Kapan tepatnya terjadi, dan seberapa besar sih dampaknya bagi kehidupan kita sehari-hari?
Apa Itu Aphelion, Sih?
Dalam dunia astronomi, aphelion itu adalah posisi terjauh sebuah benda langit yang mengorbit Matahari. Karena orbit Bumi itu tidak bulat sempurna, melainkan elips, jarak antara Bumi dan Matahari terus berubah sepanjang tahun. Nah, saat Bumi berada paling jauh dari Matahari, itulah yang disebut aphelion. Kebalikannya, saat Bumi paling dekat dengan Matahari, namanya perihelion. Memang ada selisih jarak antara keduanya, tapi bayangkan saja skala astronomi yang super luas, jadi perbedaannya sebenarnya tidak terlalu signifikan.
Kapan Aphelion 2025 Terjadi?
Catat tanggalnya! Menurut perhitungan para ahli, aphelion tahun 2025 akan terjadi pada tanggal 4 Juli, tepatnya pukul 02.54 WIB. Saat itu, jarak antara Bumi dan Matahari diperkirakan mencapai sekitar 152.087.738 kilometer. Kalau dibandingkan dengan jarak rata-rata Bumi ke Matahari yang sekitar 149,6 juta kilometer, ya, Bumi memang jadi lebih jauh sekitar 2,5 juta kilometer. Angka itu memang terdengar besar, tapi sebenarnya hanya sekitar 3% perbedaannya. Jadi, jangan khawatir, pengaruhnya ke kehidupan kita tidak akan dramatis.
Terus, Apa Dampaknya?
Muncul pertanyaan kan, apakah aphelion ini berpengaruh ke cuaca dan iklim? Banyak yang bilang, saat aphelion, udara jadi lebih dingin. Tapi, benar nggak sih? Sebenarnya, para ahli meteorologi dan klimatologi sepakat, aphelion itu sendiri tidak punya dampak langsung yang besar terhadap suhu udara secara global.
Jadi, Kenapa Cuaca Terasa Lebih Dingin?
Kalau kamu merasakan suhu udara turun, terutama di wilayah seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara setiap bulan Juli-Agustus, itu bukan gara-gara aphelion. Penyebabnya lebih ke pola angin musiman. Pada periode itu, angin muson timur bertiup dari Australia yang lagi musim dingin. Angin ini membawa udara dingin dan kering ke Indonesia, makanya suhu udara terasa lebih rendah, terutama malam sampai pagi hari.
“Angin muson timur dari Australia itu faktor utama yang bikin suhu turun di wilayah selatan khatulistiwa setiap Juli-Agustus,” kata Dr. Rina Kusumawati, seorang peneliti klimatologi. “Pengaruh aphelion itu kecil sekali, bahkan bisa diabaikan untuk perubahan suhu regional maupun global.”
Selain itu, banyak faktor lain yang mempengaruhi suhu udara, seperti tutupan awan, kelembapan udara, dan seberapa banyak radiasi matahari yang diterima Bumi. Semua faktor ini berinteraksi dengan kompleks, bukan cuma sekadar jarak Bumi ke Matahari.
Kata BMKG Soal Aphelion
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga selalu menegaskan, aphelion itu fenomena astronomi biasa yang terjadi setiap tahun dan nggak perlu dikhawatirkan. BMKG juga bilang, nggak ada potensi gangguan cuaca signifikan akibat aphelion. Jadi, kalau ada informasi di media sosial yang menghubungkan aphelion dengan cuaca ekstrem atau bencana alam, itu hoax!
“Kami imbau masyarakat jangan panik dan jangan langsung percaya informasi yang nggak jelas sumbernya,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Andi Wijaya. “Aphelion itu fenomena alamiah yang bisa dijelaskan secara ilmiah, dan nggak ada hubungannya dengan kejadian luar biasa yang membahayakan.”
Pak Andi juga menambahkan, BMKG terus memantau dan menganalisis kondisi cuaca dan iklim di seluruh Indonesia, dan memberikan informasi yang akurat dan terpercaya kepada masyarakat.
Walaupun nggak berpengaruh langsung ke suhu udara, aphelion tetap menarik untuk dipelajari sebagai bagian dari sistem tata surya kita. Dengan memahami aphelion, kita bisa menghindari kesalahpahaman soal perubahan cuaca dan iklim. Dengan informasi yang akurat, kita bisa lebih bijak menghadapi fenomena alam. Mungkin di masa depan, penelitian lebih lanjut bisa mengungkap pengaruh aphelion yang lebih halus terhadap iklim Bumi. Tapi untuk sekarang, fokusnya tetap ke faktor-faktor lain yang lebih signifikan, seperti perubahan pola angin, aktivitas Matahari, dan emisi gas rumah kaca. ***