Sajikabar – Harga minyak kelapa sawit (CPO) terus merangkak naik. Untuk pengiriman Juli 2025, komoditas andalan ini terpantau semakin mahal. Kira-kira, apa ya yang bikin harga CPO di pasar global jadi melonjak?
Harga CPO Juli 2025 Makin Tinggi, Ini Kata Kemendag
Kabar terbaru dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga referensi CPO untuk Juli 2025 dipatok di angka US$ 877,89 per metrik ton (MT). Kalau dibandingkan dengan Juni 2025 yang sebesar US$ 856,38/MT, ada kenaikan lumayan, sekitar US$ 21,51 atau 2,51%. Informasi ini resmi tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 1553 Tahun 2025, yang berlaku mulai 1 Juli kemarin sampai akhir bulan nanti.
Nah, imbas dari naiknya harga referensi CPO ini, Bea Keluar (BK) dan tarif Pungutan Ekspor (PE) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPDP-KS) juga ikut terkerek. Untuk Juli ini, BK CPO mengikuti aturan yang ada di PMK Nomor 38 Tahun 2024, yaitu sebesar US$ 52/MT. Sementara itu, PE CPO mengacu pada PMK Nomor 30 Tahun 2025, yang menetapkan angka 10 persen dari harga referensi CPO Juli 2025, atau sekitar US$ 87,7892/MT.
“Sekarang ini, harga referensi CPO lagi bergerak naik, menjauhi batas aman US$ 680/MT,” kata Isy Karim, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, dalam keterangan resminya, Rabu (2/7/2025). “Sesuai aturan yang berlaku, pemerintah mengenakan BK CPO sebesar US$ 52/MT dan PE CPO sebesar 10 persen dari harga referensi CPO Juli 2025, atau US$ 87,7892/MT.”
Kenapa Harga CPO Bisa Naik?
Penetapan harga referensi CPO Juli 2025 ini didasarkan pada rata-rata harga selama periode 25 Mei hingga 24 Juni 2025 di tiga bursa CPO utama: Bursa CPO di Indonesia (US$ 824,90/MT), Bursa CPO di Malaysia (US$ 930,88/MT), dan Harga Port CPO Rotterdam (US$ 1.153,57/MT).
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 46 Tahun 2022, kalau selisih rata-rata dari ketiga sumber harga tadi lebih dari US$ 40, maka harga referensi CPO dihitung berdasarkan rata-rata dua sumber harga yang jadi median dan terdekat dengan median. “Karena itu, harga referensi diambil dari Bursa CPO di Malaysia dan Bursa CPO di Indonesia. Setelah dihitung, keluarlah angka US$ 877,89/MT,” jelas Isy Karim.
Kenaikan harga CPO ini dipicu oleh beberapa faktor global. Salah satunya adalah permintaan yang makin tinggi, terutama dari negara-negara pengimpor besar seperti India. Sayangnya, peningkatan permintaan ini nggak seimbang dengan kenaikan produksi CPO di negara-negara penghasil. Akibatnya, pasokan jadi tertekan dan harga pun terus naik.
Apa Dampaknya Buat Kita?
Kenaikan harga CPO ini punya dampak yang luas, baik di kancah global maupun di dalam negeri. Buat konsumen, harga produk-produk yang pakai CPO sebagai bahan baku, seperti minyak goreng, margarin, sabun, dan berbagai makanan olahan, bisa jadi ikut naik. Produsen yang bergantung pada CPO juga bisa kena imbasnya, karena biaya produksi mereka berpotensi meningkat, dan akhirnya bisa mempengaruhi harga jual produk.
Tapi, di sisi lain, kenaikan harga CPO ini bisa jadi angin segar buat para produsen CPO, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pendapatan dan keuntungan mereka bisa meningkat, dan ini juga bisa memberikan kontribusi positif buat perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor. Tapi, pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan, supaya kenaikan harga CPO ini nggak memberatkan masyarakat dan industri hilir.
Bagaimana dengan Harga Komoditas Lainnya?
Selain CPO, ada juga pergerakan harga untuk komoditas lain.
Kakao
Harga referensi biji kakao periode Juli 2025 justru turun, jadi US$ 9.438,60/MT. Ini turun sekitar US$ 152,92 atau 1,59 persen dari bulan sebelumnya. Akibatnya, Harga Patokan Ekspor (HPE) biji kakao juga ikut turun jadi US$ 8.973/MT. Meski begitu, Bea Keluar (BK) biji kakao tetap sebesar 15 persen. Kabarnya, peningkatan pasokan dari negara-negara produsen utama seperti Pantai Gading dan Nigeria jadi penyebab utama penurunan harga kakao ini.
Kulit dan Kayu
Kalau HPE produk kulit periode Juli 2025, nggak ada perubahan dibandingkan Juni lalu. Tapi, ada peningkatan pada HPE produk kayu periode Juli 2025, terutama untuk kayu keping atau pecahan (wood in chips or particle), keping kayu (chipwood), dan kayu olahan dengan luas penampang 1.000-4.000 mm² dari jenis sortimen lainnya jenis pinus dan gemelina, akasia, dan sengon. Sebaliknya, HPE justru turun untuk kayu olahan dengan luas penampang 1.000-4.000 mm² dari jenis meranti, merbau, rimba campuran, sortimen lainnya jenis eboni, serta sortimen lainnya dari hutan tanaman dari jenis karet dan balsa, eucalyptus, dan lainnya.
Intinya, perkembangan harga berbagai komoditas ini nunjukkin kalau pasar global itu dinamis banget. Pemerintah pun terus memantau dan mengevaluasi perkembangan harga komoditas ini, supaya bisa ambil kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kepentingan konsumen serta produsen. ***