Hukuman Squat Ribuan Kali, Dampak Mengerikan pada Kesehatan Anak
Hukuman Squat Ribuan Kali, Dampak Mengerikan pada Kesehatan Anak

Hukuman Squat Ribuan Kali, Dampak Mengerikan pada Kesehatan Anak

Sajikabar – Remaja di China terpaksa harus menjalani transplantasi ginjal. Penyebabnya sungguh ironis: hukuman fisik yang kelewat batas. Ia dipaksa melakukan ribuan squat, sebuah praktik yang kembali mencoreng dunia pendidikan. Kisah tragis ini pun jadi peringatan keras soal bahaya hukuman fisik berlebihan dan dampaknya yang menghancurkan bagi kesehatan anak-anak.

Kasus Squat Berujung Maut: Transplantasi Ginjal Jadi Kenyataan Pahit

Awal Mula Petaka

Semua bermula pada Agustus 2023. Ajun, remaja 15 tahun asal Guilin, Provinsi Guangxi, China selatan, ketahuan mencuri uang tunai sekitar Rp 7,8 juta dari sebuah mobil. Karena masih di bawah umur (16 tahun adalah batas usia minimum untuk penuntutan pidana di China), polisi memutuskan mengirim Ajun ke Sekolah Yongqing untuk mengikuti program ‘pendidikan korektif’.

Jiang Peifeng, ayah Ajun, mengakui putranya memang sedang memasuki masa pemberontakan. Ia berharap, dengan menyerahkan Ajun ke pihak berwenang, putranya bisa mendapat pelajaran berharga. “Dia memang sedikit nakal, tapi belum pernah melakukan tindakan kriminal sebelumnya. Pihak sekolah nggak cerita detail apa yang dia lakukan, cuma bilang akan kasih tahu setelah semuanya jelas,” tutur Jiang, seperti dikutip dari Guangxi Daily News.

Hukuman Fisik yang Bikin Ngeri

Alih-alih pendidikan korektif yang membangun, Ajun justru mengalami penyiksaan fisik yang berujung petaka. Pada 13 September, Jiang menerima telepon dari Rumah Sakit Pusat Yongzhou. Anaknya kritis dan butuh dipindahkan ke rumah sakit yang lebih lengkap. Jiang kaget bukan main melihat tubuh Ajun bengkak dan penuh luka. Belakangan terungkap, 20 hari sebelumnya, Ajun dan seorang temannya dihukum fisik di sekolah.

Kejadiannya bermula tanggal 1 September. Seorang instruktur bernama Du memerintahkan para siswa, termasuk Ajun, untuk melakukan deep squat berulang-ulang. Hari itu, sekitar 30 siswa bernasib sama. Ajun sendiri diperkirakan melakukan sekitar 1.000 squat hanya dalam 45 menit!

“Instruktur suruh saya squat dengan tangan di belakang kepala. Saya hitung sekitar 1.000 kali. Setelah itu, kaki saya gemetar dan hampir nggak bisa berdiri,” cerita Ajun, menggambarkan penderitaan yang ia alami.

Dampak Kesehatan yang Mengerikan

Tiga hari setelah hukuman tersebut, Ajun mulai melihat darah dalam urinenya, dan kakinya membengkak. Awalnya, ia didiagnosis hanya menderita kista ginjal, namun pelatihan fisik tetap berlanjut tanpa penyesuaian. Kondisi Ajun memburuk dengan cepat. Pemeriksaan lanjutan mengungkap ia menderita penyakit ginjal serius dengan kadar urin yang tinggi dalam darahnya.

“Kondisi ginjalnya makin parah dari hari ke hari. Kami khawatir sekali,” ungkap seorang sumber keluarga yang enggan disebut namanya.

Perjuangan Keluarga dan Mengejar Keadilan

Biaya Pengobatan yang Menguras Kantong

Pada Juni tahun berikutnya, Ajun harus menjalani transplantasi ginjal demi menyelamatkan nyawanya. Jiang, sang ayah, sampai menjual rumah keluarga dan mengambil pinjaman bank sebesar Rp 1 miliar demi menutupi biaya pengobatan yang mencapai sekitar Rp 2,2 miliar. “Kami sudah melakukan semua yang kami bisa untuknya, tapi biayanya sangat besar,” ujarnya dengan nada putus asa.

Sementara itu, pihak sekolah maupun instruktur yang bersangkutan belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan.

Berjuang Demi Keadilan

Selain berjuang untuk kesembuhan anaknya, Jiang juga berusaha mencari keadilan atas perlakuan yang diterima Ajun. Pada Juni lalu, ia mengajukan gugatan hukum terhadap Biro Keamanan Publik Yongzhou Cabang Lengshuitan dan Sekolah Yongqing. Ia menuntut pertanggungjawaban atas kelalaian dan tindakan kekerasan yang menyebabkan kerusakan permanen pada kesehatan putranya.

Pada Maret tahun ini, hasil pemeriksaan forensik menyimpulkan bahwa kondisi Ajun secara langsung disebabkan oleh hukuman fisik yang berlebihan dan mengklasifikasikannya sebagai penyandang disabilitas tingkat lima. Temuan ini semakin memperkuat posisi Jiang dalam menuntut keadilan bagi Ajun.

Pentingnya Batasan Hukuman dan Perlindungan Anak

Kasus yang menimpa Ajun jadi tamparan keras soal pentingnya batasan yang jelas dalam memberikan hukuman, terutama di lingkungan pendidikan. Hukuman fisik berlebihan bukan hanya melanggar hak anak, tapi juga bisa menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang mendalam.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus kekerasan fisik di sekolah masih cukup tinggi. “Kami terus mendorong agar sekolah menerapkan pendekatan disiplin yang positif dan non-kekerasan,” ujar perwakilan KPAI.

Kasus ini juga menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap lembaga pendidikan yang punya program korektif untuk anak-anak bermasalah dengan hukum. Program-program itu harus dirancang untuk memberikan pendidikan yang membangun dan rehabilitatif, bukan jadi ajang penyiksaan fisik dan mental.

Pemerintah daerah setempat sudah membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus Ajun. Hasilnya diharapkan bisa memberi gambaran yang lebih jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi di Sekolah Yongqing, sekaligus memberikan rekomendasi agar kejadian serupa tidak terulang. Proses hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab juga diharapkan berjalan adil dan transparan. Kasus ini diharapkan jadi momentum untuk memperketat pengawasan dan meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak, khususnya di lingkungan pendidikan. ***

Tentang Rio Prasetyo

Hi readers! Nama saya Rio dan saya berdedikasi untuk menyebarkan informasi kesehatan yang akurat. Kesehatan adalah investasi terbaik, yuk kita jaga bersama!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Berita Terbaru