Sajikabar – Indonesia punya cita-cita besar: menjadi salah satu pemain penting di industri semikonduktor dunia, di tengah kebutuhan chip yang terus meningkat. Caranya? Pemerintah menyiapkan strategi khusus, mulai dari membentuk tim ahli, fokus mendesain chip sendiri, menggandeng mitra strategis dari luar negeri, sampai mencetak SDM unggul di bidang ini. Tapi, tentu saja, perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak tantangan yang menghadang, seperti rantai pasok yang kompleks, kebutuhan teknologi super canggih, dan investasi yang jumlahnya bikin geleng-geleng kepala.
Ambisi Indonesia di Industri Semikonduktor
Kenapa sih Indonesia begitu berambisi di industri semikonduktor? Simpel saja, kebutuhan dunia akan chip ini terus melonjak tinggi. Pemerintah melihat ini sebagai peluang emas untuk membangun ekosistem semikonduktor yang kuat dan mandiri. Bayangkan saja, sektor ini memegang peranan vital di berbagai industri, dari otomotif, telekomunikasi, sampai barang-barang elektronik yang kita pakai sehari-hari. Jadi, tak heran jika pemerintah mati-matian mendorong berbagai inisiatif untuk mewujudkan ambisi ini.
Tapi, jangan salah, jalan menuju kemandirian semikonduktor ini bukanlah jalan tol yang mulus. Industri ini terkenal rumit, mulai dari rantai pasok yang panjang, teknologi yang harus dikuasai tingkat tinggi, sampai kebutuhan investasi yang sangat besar. Mulai dari mendapatkan bahan baku, merancang chip, memproduksi, hingga merakit komponen elektronik, semua tahapan ini butuh keahlian khusus dan sumber daya yang tidak sedikit.
Konsorsium Chip Design Indonesia (ICDeC)
Sebagai langkah awal, Indonesia membentuk wadah kolaborasi bernama Konsorsium Chip Design Indonesia (ICDeC). Konsorsium ini dipimpin oleh Prof. Trio Adiono, seorang ahli desain chip dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Beliau bekerja sama erat dengan dunia industri, yang diwakili oleh Polytron. Hasil kolaborasi ini adalah Indonesia Chip Design Collaborative Center (ICDeC), sebuah organisasi nirlaba yang beranggotakan 16 universitas top di Indonesia, termasuk ITB dan Universitas Prasetiya Mulya. Keren, kan?
Fokus Awal pada Desain Chip
ICDeC memutuskan untuk fokus dulu pada desain chip. Kenapa desain? Karena dianggap lebih mudah untuk dimasuki ketimbang aspek semikonduktor lainnya, seperti manufaktur. Kata Permata Nur Miftahur Rizki, Ph.D., Ketua Bidang Kerjasama dan Kolaborasi ICDeC, “Dunia akademik Indonesia memilih fokus pada desain chip sebagai langkah awal.” Dengan desain chip, Indonesia bisa membangun kemampuan inti tanpa harus langsung mengeluarkan banyak uang untuk membangun pabrik.
Kemitraan Strategis dengan Pemain Global
Untuk mempercepat perkembangan industri semikonduktor, Indonesia menjalin hubungan baik dengan pemain-pemain besar di dunia. Berkat dukungan dari berbagai kementerian, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kemendikbudristek, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Luar Negeri, delegasi ICDeC terbang ke Eropa pada pertengahan Mei 2024. Tujuannya? Menjajaki potensi kerjasama dengan para raksasa industri semikonduktor dunia.
Salah satu incaran utamanya adalah IMEC (Interuniversity Microelectronics Centre) di Belgia, pusat penelitian dan inovasi independen terbesar di dunia untuk nanoelektronik dan teknologi digital. Selain itu, Indonesia juga mengincar kerjasama dengan ASML (Advanced Semiconductor Materials Lithography), perusahaan multinasional asal Belanda yang merupakan produsen peralatan semikonduktor terdepan di dunia.
“Kemitraan ini penting banget untuk transfer teknologi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok semikonduktor global,” jelas Permata Nur. Dengan kolaborasi ini, Indonesia bisa belajar banyak dari para pemimpin industri, mulai dari pengetahuan, teknologi, sampai praktik terbaik.
Pengembangan SDM Unggul
Selain membangun infrastruktur dan menjalin kemitraan, Indonesia juga fokus mencetak SDM yang jago di bidang semikonduktor. Percuma saja punya segalanya kalau tidak ada orang yang ahli. Berbagai program pendidikan dan pelatihan dirancang untuk menghasilkan tenaga ahli yang bisa bersaing di tingkat internasional.
Universitas Prasetiya Mulya, misalnya, melalui Program Studi Artificial Intelligent Robotics (AIR) di STEM Prasetiya Mulya, sudah menyiapkan kurikulum khusus tentang semikonduktor untuk mengembangkan SDM masa depan. “Dalam kurikulum ini, mahasiswa didorong untuk berkolaborasi dengan universitas lain di Indonesia seperti ITB, UI, UGM, ITS, serta belajar di negara-negara yang kuat di sektor semikonduktor seperti Taiwan, Belanda, dan Belgia,” imbuh Permata Nur.
Harapannya, program-program ini bisa menghasilkan lulusan yang siap kerja dan bisa memberikan kontribusi besar dalam memajukan industri semikonduktor di Indonesia. Investasi dalam SDM adalah kunci untuk memastikan industri semikonduktor Indonesia bisa terus maju dan bersaing di masa depan.
Tapi, jangan lupa, tantangan besar masih menanti. Selain investasi yang besar, penguasaan teknologi dan persaingan ketat dengan negara-negara yang sudah lebih dulu maju di industri ini menjadi perhatian utama. Pemerintah dan semua pihak terkait harus bekerja sama untuk mengatasi semua hambatan ini.
Ke depannya, pemerintah berencana memberikan insentif menarik bagi investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Pembangunan infrastruktur yang memadai dan regulasi yang mendukung juga menjadi prioritas. Dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat, Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemain penting dalam industri semikonduktor global. Pemerintah menargetkan Indonesia bisa memiliki kapasitas produksi chip yang signifikan dalam beberapa tahun ke depan, sehingga tidak perlu lagi terlalu bergantung pada impor dan bisa meningkatkan daya saing industri nasional. ***