Sajikabar – Indonesia punya ambisi besar: lepas dari ketergantungan impor solar. Jurus andalannya adalah dengan terus meningkatkan penggunaan biodiesel. Tapi, ada beberapa hal penting yang harus beres dulu, salah satunya adalah produksi di dalam negeri harus stabil, dan program B50 (Biodiesel 50%) harus sukses dijalankan.
Target B50 dan Pengaruhnya ke Impor Solar
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, optimis banget Indonesia bisa berhenti impor solar kalau program B50 berjalan lancar. Targetnya, B50 ini bisa dimulai tahun 2026. Sekarang sih, kita masih pakai B40, yang dimulai Januari 2025 lalu.
“Kalau tahun 2026 kita sudah bisa konversi ke B50, Insya Allah kita nggak perlu impor solar lagi,” kata Bahlil saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Rabu (2/7/2025). Pemerintah yakin betul B50 punya potensi besar buat mengurangi ketergantungan impor.
Dijelaskan lebih lanjut, saat ini, dengan B40, masih ada selisih antara konsumsi dan produksi minyak di dalam negeri. Nah, selisih inilah yang ditutupi dengan impor. Harapannya, B50 bisa menutupi selisih ini secara signifikan. Data Kementerian ESDM menunjukkan impor solar Indonesia di 2024 mencapai sekitar 10 juta kiloliter. Dengan B50, angka ini diperkirakan bakal turun drastis, bahkan bisa nol!
Syarat Utama: Produksi Dalam Negeri dan Konversi B50
Tapi, Bahlil juga memberikan catatan penting nih. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi biar kita bisa benar-benar bebas dari impor solar: produksi minyak di dalam negeri harus stabil, dan program konversi ke B50 harus berhasil. “Tapi ingat, produksi kita nggak boleh turun, dan kita harus konversi ke B50. Kalau kita masih di B40, ya masih ada selisih antara konsumsi dan produksi minyak kita,” jelasnya.
Stabilnya produksi dalam negeri itu penting banget. Kalau produksi minyak mentah turun, ya kita terpaksa impor lagi, meskipun B50 sudah jalan. Makanya, pemerintah lagi berusaha keras menjaga dan meningkatkan produksi minyak dengan berbagai cara, termasuk mencari sumur-sumur baru dan memaksimalkan produksi dari sumur yang sudah ada.
Selain itu, peralihan ke B50 juga harus mulus. Ini termasuk kesiapan infrastruktur, distribusi, dan bagaimana pasar menerima penggunaan biodiesel dengan campuran yang lebih tinggi. Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat dan pelaku industri juga penting banget nih.
Siapkah Kita Implementasi B50 di 2026?
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, sebelumnya sudah bilang kalau Kementerian ESDM siap menerapkan B50 di awal tahun 2026. Katanya sih, penerapan B40 berjalan lancar, baik dari sisi Public Service Obligation (PSO) maupun non-PSO. “Jadi untuk ketersediaan FAME-nya, kita sudah mau siap untuk masuk di B50 tahun depan. Jadi untuk B50 tahun depan, ya mudah-mudahan pada awal tahun itu kita sudah bisa tetapkan,” ujar Yuliot kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Kesiapan ini didasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan B40. Hasilnya menunjukkan nggak ada masalah berarti dalam hal ketersediaan bahan baku, infrastruktur distribusi, maupun penerimaan dari konsumen.
Tapi, tetap saja ada beberapa tantangan yang perlu diwaspadai, seperti harga Crude Palm Oil (CPO) yang naik turun sebagai bahan baku utama biodiesel, dan potensi penolakan dari sebagian orang terhadap penggunaan biodiesel dengan campuran yang lebih tinggi.
Ketersediaan FAME dan Dukungan Industri
Ketersediaan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) alias biodiesel dari minyak nabati, jadi kunci sukses program B50. Yuliot meyakinkan kalau industri FAME siap mengimplementasikan B50. Industri Crude Palm Oil (CPO) juga dipastikan mampu memenuhi pasokan di dalam negeri dalam rangka hilirisasi.
“Jadi ada penambahan bahan baku juga, ini sudah dikondisikan,” jelasnya. Ini menunjukkan kalau industri FAME terus berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memastikan pasokan FAME yang berkelanjutan.
Pemerintah juga mendukung industri FAME dengan berbagai insentif dan kemudahan perizinan. Tujuannya adalah untuk mendorong investasi dan peningkatan produksi FAME, biar kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi.
Nggak Perlu Buka Lahan Baru untuk B50
Salah satu kekhawatiran terkait penggunaan biodiesel adalah potensi deforestasi karena pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Tapi, Yuliot Tanjung menegaskan kalau B50 nggak butuh penambahan lahan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku BBM dan CPO.
Ini karena pemerintah juga punya program penanaman kembali lahan atau replanting. Program ini bertujuan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua atau kurang produktif dengan bibit unggul yang menghasilkan CPO lebih banyak. Jadi, kebutuhan bahan baku biodiesel bisa dipenuhi tanpa harus membuka lahan baru.
“Dengan adanya program replanting yang dilakukan dan juga ini untuk mencukupi kebutuhan. Jadi mungkin nambah lahannya tidak terlalu besar lagi,” tutupnya.
Implementasi program B50 bakal jadi tonggak penting dalam upaya Indonesia mencapai kemandirian energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Keberhasilan program ini nggak cuma menguntungkan sektor energi, tapi juga sektor pertanian dan industri hilir kelapa sawit. Pemerintah berharap, dengan dukungan dari semua pihak, target B50 bisa tercapai sesuai rencana dan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. ***