Sajikabar – Lulus kuliah seharusnya jadi gerbang menuju karier impian. Tapi, kenyataannya, banyak sarjana muda di Indonesia yang masih berjuang mencari pekerjaan. Data terbaru bikin miris: lebih dari satu juta sarjana nganggur. Ini bukan cuma angka, tapi alarm bagi sistem pendidikan dan dunia kerja kita.
Sarjana Menganggur: Masalah Serius yang Perlu Dipecahkan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 7,28 juta pengangguran di Indonesia pada Februari 2025. Yang bikin geleng-geleng kepala, 1,01 juta di antaranya adalah sarjana. Ironis, kan? Pendidikan tinggi seharusnya jadi jaminan masa depan, tapi kok malah banyak lulusan universitas yang kesulitan cari kerja?
Meski tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional 4,76%, angka pengangguran sarjana ini tetap jadi sorotan. Soalnya, ini menyangkut investasi pendidikan yang sudah dikeluarkan, juga potensi ekonomi negara yang terbuang. Memang, pengangguran terbanyak ada di lulusan SD dan SMP (2,42 juta), disusul SMA (2,04 juta), SMK (1,63 juta), dan diploma (177,39 ribu). Tapi, tetap saja, satu juta sarjana menganggur ini menandakan ada masalah yang mendalam.
“Ini PR besar buat kita. Pendidikan itu investasi, harusnya menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Kalau banyak sarjana nganggur, berarti ada jurang antara kampus dan dunia kerja,” ujar seorang analis ekonomi dari lembaga riset independen di Jakarta, yang memilih untuk anonim. Ia menyampaikan pendapatnya pada Rabu, 2 Juli 2025.
Kenapa Sarjana Susah Cari Kerja?
Banyak faktor yang bikin angka pengangguran sarjana tinggi. Mulai dari skill yang dipelajari di kampus gak sesuai dengan kebutuhan industri, sampai kurangnya informasi tentang lowongan kerja. Persaingan yang ketat juga jadi masalah, apalagi setiap tahun ada ribuan lulusan baru.
Jurang Pemisah Antara Kampus dan Industri
Salah satu penyebab utama adalah ketidakcocokan antara apa yang dipelajari di kuliah dengan apa yang dicari perusahaan. Kurikulum di beberapa kampus mungkin sudah ketinggalan zaman. Lulusan jadi punya skill yang gak relevan, atau kurang punya keterampilan praktis yang dibutuhkan untuk langsung kerja. Alhasil, perusahaan lebih memilih merekrut yang sudah berpengalaman atau punya skill spesifik.
“Sekarang perusahaan cari yang ready to work. Gak ada waktu buat ngelatih dari nol. Kurikulum kampus harus lebih fleksibel dan peka terhadap kebutuhan industri,” kata seorang Manajer HRD dari perusahaan manufaktur di Cikarang.
Kualitas Lulusan Juga Jadi Sorotan
Selain soal kurikulum, kualitas lulusan juga jadi faktor penting. Keterampilan yang kurang, seperti komunikasi, problem solving, dan adaptasi terhadap teknologi, bisa jadi batu sandungan. Pengalaman kerja yang minim, seperti magang atau kerja part-time, juga bikin daya saing lulusan berkurang.
“Nilai akademis sih bagus, tapi soft skills yang penting buat kerja tim dan adaptasi lingkungan kerja seringkali kurang,” imbuh sang analis ekonomi.
Pemerintah Turun Tangan: Kopdes Merah Putih Jadi Andalan?
Pemerintah sadar betul masalah ini dan sudah menyiapkan beberapa solusi. Salah satunya adalah program Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih yang digadang-gadang bisa jadi solusi. Program ini bertujuan menciptakan lapangan kerja baru di desa-desa melalui pembentukan dan pengembangan koperasi.
Kopdes Merah Putih: Harapan Baru untuk Sarjana di Desa?
Kopdes Merah Putih ini upaya pemerintah buat dorong kewirausahaan dan ciptakan lapangan kerja di pedesaan. Dengan anggaran yang lumayan besar, targetnya adalah membentuk 80 ribu koperasi di seluruh Indonesia. Setiap koperasi diharapkan bisa menyerap minimal 25 tenaga kerja, sehingga potensi lapangan kerja baru bisa mencapai lebih dari 2 juta. Pemerintah juga memberikan insentif modal dan pelatihan buat pengelola koperasi supaya usaha mereka bisa berkembang dan lebih kompetitif.
“Program ini diharapkan bisa mengubah mindset masyarakat tentang pekerjaan. Gak cuma fokus ke perusahaan besar di kota, tapi juga melihat peluang di sektor koperasi dan UMKM di desa,” ujar Menteri Ketenagakerjaan saat memberikan sambutan di sebuah seminar nasional di Jakarta beberapa waktu lalu.
Tapi, efektivitas program ini masih harus diuji. Keberhasilan Kopdes Merah Putih sangat bergantung pada pengelolaan yang profesional, dukungan dari pemerintah daerah, dan partisipasi aktif masyarakat. Beberapa pengamat juga khawatir program ini bisa tumpang tindih dengan program pemberdayaan masyarakat yang sudah ada.
Tantangan di Depan, Harapan Tetap Ada
Mengatasi pengangguran sarjana itu bukan perkara mudah, butuh solusi yang menyeluruh dan berkelanjutan. Selain program pemerintah, peran kampus, swasta, dan masyarakat juga penting. Kampus harus merevisi kurikulum biar lebih relevan, meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian. Swasta bisa berpartisipasi dengan memberikan kesempatan magang, pelatihan, dan rekrutmen. Masyarakat sipil bisa memberikan pendampingan dan informasi.
Di sisi lain, fresh graduate juga harus proaktif meningkatkan skill, beradaptasi dengan teknologi, dan punya mentalitas pantang menyerah. Berani memulai usaha sendiri juga bisa jadi pilihan yang menarik.
Meski angka pengangguran sarjana masih tinggi, kita tetap punya harapan. Dengan kerja sama semua pihak, masalah ini pasti bisa diatasi. Program pemerintah yang tepat sasaran, peningkatan kualitas pendidikan, dan partisipasi aktif dari swasta dan masyarakat bisa membantu menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan meningkatkan daya saing lulusan Indonesia di pasar kerja global. Kabar baiknya, ada peningkatan partisipasi fresh graduate dalam program pelatihan vokasi pemerintah. Ini tanda positif, semakin banyak lulusan yang sadar pentingnya meningkatkan skill dan beradaptasi dengan kebutuhan industri. Semoga ke depan, semakin banyak lulusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan impian dan berkontribusi untuk kemajuan Indonesia. ***