Sajikabar – Kabar duka datang dari Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi. Seekor bayi harimau Sumatera yang baru beberapa hari lahir, sayangnya, harus menghembuskan napas terakhirnya. Diduga kuat, penyebabnya adalah kekurangan gizi dan dehidrasi. Tentu saja, kejadian ini langsung menyoroti betapa beratnya tantangan yang dihadapi dalam upaya menyelamatkan satwa-satwa langka di Indonesia.
Kronologi Kejadian yang Memilukan
Kelahiran yang Sempat Membawa Harapan
Bayi mungil ini lahir pada 24 Juni 2025, sekitar pukul 3 subuh di TMSBK Bukittinggi. Kelahirannya disambut gembira oleh tim medis dan pengelola kebun binatang. Maklum saja, setiap kelahiran harimau Sumatera itu sangat berarti bagi kelangsungan hidup spesies yang sudah sangat terancam punah ini. Bayi ini adalah anak dari pasangan harimau legendaris, Bujang Mandeh dan Yani, yang selama ini jadi andalan dalam program penangkaran harimau Sumatera di Bukittinggi.
Kondisi Kesehatan yang Merosot Drastis
Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Hanya beberapa hari setelah lahir, kondisi kesehatan si bayi harimau mulai menurun. Tim medis yang terus memantau lewat monitor, melihat tanda-tanda bahwa induknya, Yani, sedang stres. Indikasinya adalah Yani jadi sering memindahkan bayinya dari satu tempat ke tempat lain, bahkan beberapa kali terlihat menggigit bayinya. Perilaku seperti ini tentu sangat mengkhawatirkan dan bisa membahayakan keselamatan si kecil.
Upaya Penyelamatan yang Berujung Kegagalan
Melihat kondisi yang semakin memburuk, tim medis TMSBK langsung menghubungi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat untuk meminta bantuan. Hasil pengamatan menunjukkan kalau Yani juga mulai menolak menyusui anaknya. “Dari hasil pantauan, dalam satu atau dua hari induknya sudah tidak mau menyusui. Ini yang membuat tim medis berkoordinasi dengan kami di BKSDA untuk mengevakuasi anak harimau dari induknya,” kata seorang sumber dari BKSDA Sumbar yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Bayi harimau itu kemudian dievakuasi dan diberi susu kambing sebagai tambahan nutrisi. Namun, sepertinya semua itu sudah terlambat. Bayi harimau itu dinyatakan meninggal dunia pada 1 Juli 2025, sekitar pukul 9 pagi.
Apa Sebenarnya Penyebab Kematiannya?
Malnutrisi dan Dehidrasi Jadi Biang Keladi
Hasil pemeriksaan tim medis menunjukkan bahwa penyebab utama kematian bayi harimau itu adalah malnutrisi dan dehidrasi. Kekurangan nutrisi dan cairan penting membuat kondisi tubuhnya semakin lemah hingga akhirnya tidak tertolong. Cuaca ekstrem yang belakangan ini melanda Sumatera Barat juga diduga ikut memperparah kondisinya.
Stres pada Induk Juga Berpengaruh
Stres yang dialami induk harimau, Yani, juga menjadi faktor penting dalam kematian bayinya. Diduga, stres ini disebabkan oleh berbagai hal, termasuk lingkungan kandang yang kurang nyaman, gangguan dari luar, atau bahkan perubahan hormon setelah melahirkan. Stres pada induk bisa mempengaruhi produksi dan kualitas air susunya, yang tentu saja berdampak langsung pada kesehatan bayinya.
Kemungkinan Adanya Kelainan Genetik
Ada juga faktor lain yang masih dalam penyelidikan, yaitu kemungkinan adanya kelainan genetik pada bayi harimau tersebut. Catatan TMSBK Bukittinggi menunjukkan bahwa anak-anak harimau yang lahir dari induk Yani seringkali punya masalah kesehatan. “Anak harimau ini adalah generasi keenam dari induk Yani. Dari generasi pertama sampai kelima, banyak anak harimau yang mengalami kelainan. Apakah ini bisa dibilang kelainan genetik, ini yang masih dipelajari tim medis,” jelas sumber tersebut. Rencananya, analisis genetik akan dilakukan untuk memastikan apakah ada faktor genetik yang menyebabkan masalah kesehatan pada bayi harimau itu.
Tanggapan dari Pihak-Pihak Terkait
Penjelasan dari BKSDA Sumatera Barat
BKSDA Sumatera Barat menyatakan sangat prihatin dengan kejadian ini. Kepala BKSDA Sumbar, dalam pernyataan resminya, menyampaikan belasungkawa dan menegaskan komitmen untuk terus meningkatkan upaya konservasi harimau Sumatera. “Kami sangat berduka atas kehilangan ini. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi kami untuk terus mengevaluasi dan meningkatkan standar perawatan satwa di lembaga konservasi,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh untuk mencari tahu penyebab pasti kematian bayi harimau dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
Langkah Selanjutnya yang Akan Diambil
Setelah semua proses pemeriksaan selesai, jenazah bayi harimau akan dimakamkan. BKSDA Sumatera Barat juga akan mengevaluasi prosedur perawatan dan pengelolaan satwa di TMSBK Bukittinggi. Evaluasi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pakan, kesehatan, lingkungan kandang, sampai manajemen stres pada satwa. “Kami akan bekerja sama dengan pihak TMSBK untuk melakukan perbaikan dan peningkatan di berbagai aspek, demi kesejahteraan satwa dan keberhasilan program konservasi,” tegas Kepala BKSDA Sumbar.
Betapa Pentingnya Konservasi Harimau Sumatera
Kematian bayi harimau Sumatera ini sekali lagi mengingatkan kita betapa pentingnya upaya konservasi satwa langka di Indonesia. Harimau Sumatera adalah salah satu spesies yang sangat terancam punah akibat perburuan liar, hilangnya habitat, dan konflik dengan manusia. Diperkirakan, populasi harimau Sumatera di alam liar hanya tinggal sekitar 600 ekor. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menjaga dan meningkatkan populasi harimau Sumatera, baik melalui penangkaran maupun perlindungan habitat, sangatlah penting.
Konservasi harimau Sumatera butuh dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga konservasi, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan kerja sama yang solid dan komitmen yang kuat, diharapkan populasi harimau Sumatera bisa terus bertambah dan terhindar dari kepunahan. Pencegahan perburuan liar, perlindungan habitat, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi, adalah kunci utama untuk menyelamatkan harimau Sumatera dari ancaman kepunahan. Kehilangan satu individu harimau Sumatera, apalagi bayi harimau, adalah kerugian besar bagi upaya konservasi dan mengingatkan kita akan perlunya tindakan nyata dan berkelanjutan untuk melindungi satwa langka ini. ***