Kisah Pilu di Balik Gemerlap Pasar Rumput, Mereka Bertahan Hidup
Kisah Pilu di Balik Gemerlap Pasar Rumput, Mereka Bertahan Hidup

Kisah Pilu di Balik Gemerlap Pasar Rumput, Mereka Bertahan Hidup

Sajikabar – Jakarta yang berkilauan, kota impian bagi banyak orang, menyimpan cerita yang kontras. Di balik megahnya gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan, ada sekelompok kecil manusia yang berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup. Kolong jembatan, ironisnya, menjadi rumah bagi mereka.

Di Balik Jembatan Pasar Rumput

Kolong Jembatan Pasar Rumput, lokasinya berada di persimpangan sibuk antara Jalan Sukabumi dan Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan. Tempat ini jadi saksi bisu pahitnya kehidupan. Bayangkan, tepat di seberang ada Rusun dan Halte TransJakarta Pasar Rumput, tapi di bawahnya… Bisingnya kendaraan, polusi, dan aroma Kali Ciliwung yang menyengat menemani mereka setiap hari. Kolong jembatan bukan cuma tempat berteduh, tapi juga ruang makan, kamar tidur, dan sumber penghidupan.

Kisah Wendi, dari Sampah Mencari Nafkah

Wendi (48), bukan nama sebenarnya, sudah tiga tahun tinggal di kolong Jembatan Pasar Rumput. Pria asal Lampung ini sehari-hari memulung, mencari barang bekas untuk dijual. “Berat memang hidup di sini, tapi mau bagaimana lagi, nggak ada pilihan lain,” katanya, terdengar pasrah.

Tiga Tahun Bergelut dengan Bising dan Bau

Tiga tahun bukan waktu singkat untuk hidup di bawah jembatan. Wendi merasakan betul susahnya tidur nyenyak di tengah bisingnya lalu lintas. Ancaman penyakit dari sanitasi yang buruk juga selalu menghantui. Tapi Wendi berusaha tegar. “Yang penting masih bisa makan, ada tempat buat neduh,” ujarnya.

Dari Lampung Merantau, Bertemu Sahabat di Kolong

Wendi merantau ke Jakarta tahun 1992, berharap mengubah nasib. Ia naik truk dari Lampung, modalnya cuma sedikit. “Dulu susah banget, naik kereta aja nggak punya duit. Tidur di halte, eh, barang-barang malah dicuri,” kenangnya. Tak lama, ia bertemu Amor, sesama pemulung yang sudah lama tinggal di kolong jembatan. Amor lah yang mengajak Wendi tinggal bersamanya. “Amor itu sudah kayak keluarga. Dia yang selalu nolong saya,” kata Wendi.

Memulung, Satu-satunya Cara Bertahan

Setiap hari, Wendi harus kerja keras sebagai pemulung. Ia mengumpulkan botol plastik bekas, kardus, dan besi tua di sekitar Pasar Rumput dan Kali Ciliwung. Penghasilannya sangat bergantung pada cuaca dan banyaknya sampah.

Menantang Arus Ciliwung Demi Sebotol Plastik

Salah satu cara Wendi mencari rezeki adalah dengan mengais botol bekas di Kali Ciliwung. Ia berdiri di atas rangka baja jembatan, berusaha meraih botol-botol plastik yang mengambang di air keruh. Pekerjaan ini sangat berbahaya, karena ia harus berhadapan dengan arus sungai yang deras dan risiko terjatuh. “Kalau hujan deras, air kalinya meluap. Wah, itu saatnya dapat banyak botol,” ujarnya. Tapi kalau nggak hujan, ia harus keliling mencari botol bekas di tempat lain.

Secercah Mimpi, Tempat Tinggal Layak

Meski hidup serba kekurangan, Wendi tetap punya mimpi. Ia berharap suatu saat punya tempat tinggal yang layak, bukan lagi di bawah jembatan. “Siapa sih yang nggak mau punya rumah sendiri? Tapi gimana caranya? Kami ini cuma pemulung,” katanya lirih. Ia mengaku pernah ditawari pekerjaan oleh seorang teman, tapi ragu karena merasa tidak punya keterampilan. “Saya cuma lulusan SD, bisanya cuma memulung,” ujarnya.

Kini, Wendi hanya bisa berharap pada hasil memulung. Ia mengumpulkan sekitar 3-4 karung botol bekas setiap hari dan menjualnya seharga Rp 20.000 per karung. Dari hasil itu, ia dapat sekitar Rp 60.000-80.000 per hari. Uang itu untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. “Cukup buat makan saja sudah bersyukur,” katanya.

Kisah Wendi hanyalah satu dari sekian banyak cerita pilu di balik gemerlap Jakarta. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang seringkali terlupakan, berjuang untuk bertahan hidup di tengah kerasnya persaingan. Peran pemerintah dan berbagai organisasi sosial sangat dibutuhkan untuk membantu mereka keluar dari kesulitan dan meraih kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, senyum Wendi tetap menghiasi wajahnya, seolah tak ingin menyerah pada keadaan.

Pemerintah daerah setempat terus mencari solusi untuk masalah ini. Beberapa program seperti pelatihan keterampilan dan pemberian modal usaha sudah dilakukan, tapi hasilnya belum maksimal. Kendala utamanya adalah kurangnya kesadaran dan kemauan dari para penghuni kolong jembatan untuk mengubah nasib. Faktor ekonomi dan sosial juga jadi penghalang yang sulit diatasi. “Kami terus berupaya memberikan yang terbaik bagi masyarakat,” ujar Kepala Dinas Sosial Jakarta Selatan, dalam keterangan persnya. “Tapi butuh kerja sama dari semua pihak untuk mencapai hasil yang optimal.”

Kedepannya, pemerintah berencana lebih intensif mendekati para penghuni kolong jembatan secara personal, memberikan pendampingan, dan membantu mereka mendapatkan pekerjaan yang layak. Selain itu, program perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih juga akan ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan nyaman. Diharapkan, dengan upaya bersama, kehidupan para penghuni kolong jembatan dapat berubah menjadi lebih baik dan sejahtera. ***

Tentang Luthfi Hermawan

Hi readers! Saya Luthfi, jurnalis yang selalu curious dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Menulis berita dan melakukan investigasi adalah passion saya. Mari kita jelajahi dunia informasi bersama!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Berita Terbaru