Sajikabar – Di ujung Pulau Timor, tepatnya di Wini, Nusa Tenggara Timur (NTT), denyut tradisi terasa begitu kental. Lebih dari sekadar gerbang perbatasan dengan negara tetangga, Wini adalah rumah bagi kekayaan budaya yang memukau. Bayangkan, hamparan kain tenun dengan motif bercerita, gerakan tari adat yang memikat, dan derap kaki kuda pacu yang memacu adrenalin.
Wini: Mutiara Budaya di Jantung Timor Tengah Utara
Wini, yang berada di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), bukan hanya sekadar titik di peta yang memisahkan Indonesia dan Timor Leste. Lebih dari itu, Wini adalah mutiara budaya yang bersinar terang dalam kehidupan sehari-hari warganya. Menenun, menari, dan pacuan kuda adalah tiga hal yang menjadi jantung identitas budaya Wini. “Budaya itu jati diri kami. Tanpa budaya, Wini cuma perbatasan biasa,” kata Bapak Antonius Soares, seorang tokoh adat Wini, saat kami temui di rumahnya yang sederhana.
Tenun Wini: Ketika Motif Bercerita
Di Wini, tenun bukan sekadar kain. Ia adalah warisan turun-temurun, terutama bagi kaum perempuan. Setiap motif di kain tenun itu seperti buku cerita yang menyimpan makna mendalam. Ada yang menggambarkan keindahan alam Wini yang memesona, ada pula yang mengisahkan para leluhur, dan tentu saja, filosofi hidup yang dianut masyarakat setempat. Proses pembuatannya pun luar biasa. Para pengrajin menggunakan benang kapas alami, pewarna alami dari tumbuhan di sekitar, dan alat tenun tradisional yang sederhana. Butuh ketelitian, kesabaran, dan waktu yang tak sedikit. Bahkan, selembar kain tenun bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk jadi.
“Menenun itu seperti napas kami. Lewat tenun, kami menyampaikan pesan dan menjaga ingatan akan leluhur,” ujar Ibu Maria Fatima, seorang pengrajin tenun Wini yang sudah 30 tahun lebih menekuni pekerjaan ini. Motif-motif yang sering muncul dalam tenun Wini antara lain motif geometris, flora dan fauna, serta motif yang terinspirasi dari kehidupan sosial masyarakat. Warna-warnanya pun punya arti tersendiri. Misalnya, merah itu keberanian, hitam itu kekuatan, dan putih itu kesucian.
Tari Bidu: Simbol Kebersamaan yang Membahagiakan
Tari Bidu adalah salah satu tarian adat yang masih sering ditampilkan dalam acara-acara penting dan penyambutan tamu di Wini. Tarian ini biasanya ditarikan oleh sekelompok perempuan yang mengenakan busana tradisional lengkap dengan kain tenun buatan sendiri. Gerakannya halus dan gemulai, namun penuh makna. Diiringi alunan musik tradisional dari gong dan tambur, setiap gerakan dan irama menggambarkan kebersamaan, persatuan, dan penghargaan terhadap tamu yang datang.
Anak-anak muda di Wini terus diajarkan menari Bidu, memastikan tradisi ini tetap hidup dan menjadi bagian penting dari identitas mereka. “Kami ingin generasi muda Wini terus mencintai dan melestarikan Tari Bidu. Tarian ini adalah jati diri kami,” kata Bapak Yosef Koli, seorang tokoh masyarakat yang aktif melestarikan kesenian tradisional di Wini.
Pacuan Kuda: Lebih dari Sekadar Balapan
Budaya berkuda sudah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Wini. Kuda pacu bukan sekadar hewan peliharaan, melainkan simbol prestise dan kebanggaan. Setiap musim pacuan tiba, warga dari berbagai desa di sekitar Wini akan membawa kuda-kuda terbaik mereka untuk bertanding di padang terbuka. Para joki, yang biasanya dilatih sejak kecil, menunggangi kuda tanpa pelana dengan kecepatan tinggi di lintasan tanah. Pacuan kuda di Wini bukan hanya tontonan, tapi juga ajang kehormatan bagi keluarga. Kemenangan dalam pacuan kuda bisa meningkatkan status sosial dan ekonomi keluarga tersebut.
“Pacuan kuda itu tradisi yang sangat kami banggakan. Ini adalah ajang untuk menunjukkan kemampuan dan keberanian kami,” kata Bapak Simon Tefa, seorang pemilik kuda pacu yang sering menang dalam berbagai perlombaan. Selain sebagai kompetisi, pacuan kuda juga menjadi cara untuk mempererat tali silaturahmi antar warga.
Menjaga Warisan di Tengah Arus Modernisasi
Di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi, masyarakat Wini terus berusaha menjaga warisan budaya mereka dengan bangga. Pembangunan infrastruktur di sekitar PLBN membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, membuka akses dan peluang baru bagi masyarakat. Di sisi lain, mendorong mereka untuk lebih aktif melestarikan budaya. “Kami sadar perubahan itu tak terhindarkan. Tapi, kami berkomitmen untuk terus menjaga tradisi kami agar tidak hilang ditelan zaman,” tegas Bapak Antonius Soares.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan budaya Wini, antara lain dengan mengadakan festival budaya rutin, memberikan pelatihan tenun, tari, dan berkuda kepada generasi muda, serta mempromosikan produk budaya Wini ke pasar yang lebih luas. Meski begitu, tantangan yang dihadapi tidak mudah. Kurangnya sumber daya manusia berkualitas dan terbatasnya akses teknologi menjadi kendala utama. “Kami berharap pemerintah dan pihak swasta bisa memberikan dukungan lebih besar dalam upaya pelestarian budaya Wini,” pungkas Ibu Maria Fatima. Dengan semangat gotong royong dan tekad yang kuat, masyarakat Wini optimis bisa menjaga warisan budaya mereka tetap hidup dan lestari, menjadi daya tarik yang mempesona di perbatasan Pulau Timor. Harapannya, Wini kelak tak hanya dikenal sebagai pos lintas batas negara, tetapi juga sebagai destinasi wisata budaya yang unik dan menarik. ***