Sajikabar – Kasus dugaan asusila yang menyeret nama Vadel Badjideh memasuki babak baru. Nikita Mirzani, sebagai seorang ibu, mengambil sikap tegas. Luka yang mendalam dirasakannya, dan kini ia merasa masa depan sang putri, LM, terancam. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi saksi bisu perjuangan seorang ibu demi keadilan anaknya.
Reaksi Nikita Mirzani: Sulit Memaafkan
Dengan nada bicara yang mantap, Nikita Mirzani mengakui dirinya belum bisa memaafkan perbuatan yang diduga dilakukan Vadel Badjideh terhadap LM. Pernyataan ini menggambarkan betapa besar dampak yang dirasakannya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional. Baginya, masa depan buah hatinya seperti dirampas begitu saja.
Keterangan Kuasa Hukum
Fahmi Bachmid, pengacara Nikita Mirzani, mengungkapkan kondisi kliennya yang masih sangat terpukul. Menurutnya, Nikita masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa putrinya.
“Nikita bilang, ‘Saya tidak akan memaafkan perbuatan ini terhadap anak saya’,” ujar Fahmi Bachmid usai mendampingi kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2 Juli 2025). “Karena menurutnya, anaknya mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti semula, baik secara mental maupun keseluruhan.”
Fahmi menambahkan bahwa luka yang dialami LM bukan sekadar luka fisik, tapi juga memengaruhi mental dan masa depannya. Inilah yang membuat Nikita merasa berat untuk memberi maaf kepada pihak yang bertanggung jawab.
Luka Batin dan Masa Depan Anak
Kekhawatiran terbesar Nikita Mirzani adalah dampak jangka panjang yang mungkin dialami LM. Ia khawatir luka batin yang dialami putrinya akan membekas dan memengaruhi kehidupannya kelak. Trauma yang mendalam bisa menghambat perkembangan emosional, sosial, bahkan akademis LM.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam lima tahun terakhir. Di tahun 2024 saja, tercatat lebih dari 15.000 kasus di seluruh Indonesia, dan angkanya terus meningkat. Hal ini semakin menegaskan pentingnya penanganan serius dan komprehensif terhadap korban, termasuk pendampingan psikologis dan rehabilitasi berkelanjutan.
Nikita Mirzani sangat menyadari bahwa masa depan LM kini dipertaruhkan. Ia bertekad melakukan segalanya untuk melindungi dan memastikan putrinya mendapatkan keadilan dan pemulihan yang optimal.
Kondisi Psikis Nikita Mirzani
Nikita Mirzani sendiri mengakui bahwa kondisi psikisnya masih sangat terguncang akibat kasus ini. Baginya, sulit untuk berdamai dengan kenyataan pahit yang menimpa keluarganya. Rasa marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk, membuatnya sulit berkonsentrasi dan menjalani aktivitas sehari-hari.
“Dia belum bisa memaafkan, karena belum siap melihat kenyataan bahwa masa depan anaknya hancur akibat ulah seseorang,” jelas Fahmi Bachmid.
Meski begitu, Nikita Mirzani menyadari bahwa ia harus kuat demi putrinya. Ia berusaha tegar dan fokus pada proses hukum yang sedang berjalan. Namun, ia juga membutuhkan dukungan dari keluarga, sahabat, dan para profesional untuk membantunya melewati masa sulit ini.
Keteguhan Sikap Nikita Mirzani
Hingga saat ini, Nikita Mirzani tetap pada pendiriannya untuk tidak memaafkan dugaan perbuatan Vadel Badjideh. Baginya, hal itu telah melukai hati seorang ibu dan menghancurkan hidup anaknya. Ia yakin keadilan harus ditegakkan dan pelaku harus bertanggung jawab.
“Seperti yang dikatakan Nikita, sampai sekarang dia belum bisa memaafkan, karena baginya ini sesuatu yang sulit untuk dimaafkan,” pungkas Fahmi Bachmid.
Sikap tegas Nikita Mirzani ini menuai beragam reaksi dari masyarakat. Ada yang mendukung keputusannya dan bersimpati atas apa yang dialaminya. Namun, ada juga yang mengkritik dan menilai tindakannya terlalu keras. Meski demikian, Nikita Mirzani tetap berpegang teguh pada prinsipnya dan yakin bahwa ia sedang melakukan yang terbaik untuk melindungi masa depan putrinya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Eva Susanti, SH, MH, menekankan bahwa dalam kasus yang melibatkan anak sebagai korban, rehabilitasi psikologis menjadi sangat penting. “Proses hukum penting untuk memberi efek jera, tapi pemulihan trauma bagi korban harus jadi prioritas utama,” ujarnya. “Dukungan dari keluarga, masyarakat, dan profesional sangat dibutuhkan untuk membantu korban bangkit dan membangun kembali kehidupannya.”
Kasus ini mengingatkan kita semua akan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak dari segala bentuk kekerasan. Diperlukan upaya yang lebih serius dan terpadu dari berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak. Kasus ini juga menjadi ujian bagi sistem peradilan di Indonesia dalam memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Proses hukum akan terus berjalan, dan publik akan terus mengikuti perkembangannya. Masa depan LM, dan anak-anak Indonesia lainnya yang menjadi korban kekerasan, menjadi tanggung jawab kita bersama. ***