Sajikabar – Rawajati dan banjir, seperti dua sisi koin yang tak bisa dipisahkan. Tiap kali musim hujan tiba, warga Rawajati, khususnya yang rumahnya di sekitar Sungai Ciliwung, langsung was-was. Cerita sedih ini terus berulang, tahun demi tahun, meninggalkan bekas luka dan kerugian yang tak sedikit. Banjir bukan sekadar ancaman, tapi sudah jadi bagian dari hidup yang memaksa warga untuk beradaptasi seadanya.
Banjir Sudah Jadi “Menu” Tahunan di Rawajati
RT 4 RW 7 Rawajati, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, memang sudah lama terkenal sebagai daerah langganan banjir. Sungai Ciliwung yang meluap jadi biang kerok utama masalah ini. Curah hujan yang tinggi dan sistem drainase yang kurang oke bikin situasi makin parah, menjadikan banjir seolah jadi “agenda” rutin tiap tahun. Lokasi Rawajati yang berada di dataran rendah dan dekat dengan sungai, memang membuatnya sangat rentan terkena dampak luapan air.
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Rawajati setidaknya sudah kebanjiran tiga kali dalam setahun terakhir. Ketinggian airnya beda-beda, mulai dari 30 sentimeter sampai lebih dari satu meter, tergantung seberapa deras hujannya dan bagaimana kondisi sungai. Dampaknya jelas bukan cuma merendam rumah dan fasilitas umum, tapi juga mengganggu kegiatan ekonomi dan sosial warga setempat.
“Kami sudah capek tiap tahun kebanjiran. Seharusnya pemerintah cari solusi yang beneran permanen, bukan cuma kasih bantuan sementara,” keluh Pak Rahman, Ketua RT 4 RW 7 Rawajati, saat ditemui di lokasi banjir.
Sementara itu, pemerintah daerah sebenarnya terus berupaya menanggulangi banjir. Pengerukan sungai, perbaikan tanggul, dan pembangunan drainase adalah beberapa langkah yang diambil untuk mengurangi risiko banjir. Tapi, apakah upaya ini benar-benar efektif? Pertanyaan ini masih terus muncul, mengingat banjir tetap saja terjadi setiap musim hujan tiba.
Kisah Ida, Warga Rawajati yang Sudah Kebal Banjir
Di antara ratusan warga Rawajati yang terkena dampak banjir, ada cerita tentang Ida (50). Ibu rumah tangga ini sudah merasakan pahitnya banjir di Rawajati sejak tahun 2002. Dulu, Ida masih muda dan tinggal bersama ibunya. Pengalaman pahit ini menempa dirinya menjadi sosok yang lebih kuat dan siap menghadapi bencana.
“Dulu awal-awal kaget, sekarang sudah biasa, sudah banyak belajar. Dari cara nyusun barang, juga orang tua dulu sudah ngajarin. Tapi, sekarang sudah nggak bisa diprediksi,” kata Ida kepada wartawan pada Senin (7/7/2025), sambil melihat air yang mulai menggenangi halaman rumahnya. Nada bicaranya datar, mencerminkan kepasrahan yang mendalam.
Ida bercerita, setiap kali hujan deras mengguyur Jakarta, dia selalu siaga. Dia berusaha mencari informasi terbaru dari radio dan media sosial untuk mengetahui potensi banjir. Begitu ada tanda-tanda banjir, dia langsung ambil langkah-langkah antisipasi.
Strategi Ala Ida Menghadapi Banjir
Ida pun punya strategi sendiri untuk menghadapi banjir. Dia selalu menyusun barang-barang berharganya di tempat yang lebih tinggi, seperti lemari atau loteng. Barang-barang elektronik, seperti televisi dan kulkas, diletakkan di lantai dua rumahnya. Dia juga menyiapkan tas siaga berisi pakaian ganti, makanan ringan, dan obat-obatan.
“Biasanya saya kosongkan ruang paling bawah lemari, terus semua barang elektronik disimpan di lantai dua. Tas siaga juga selalu siap sedia,” jelas Ida.
Selain itu, Ida juga menjalin hubungan baik dengan tetangga dan relawan. Mereka saling bertukar informasi dan membantu evakuasi jika diperlukan. Solidaritas dan gotong royong menjadi kunci untuk bertahan di tengah bencana.
Meski begitu, Ida mengakui kalau strateginya tidak selalu berhasil. Kadang-kadang, banjir datang terlalu cepat dan air naik terlalu tinggi, sehingga dia tidak sempat menyelamatkan semua barang berharganya.
Capeknya Membersihkan Lumpur Sisa Banjir
Buat Ida, yang paling bikin capek adalah membersihkan lumpur sisa banjir. Lumpur yang mengendap di dalam rumah dan perabotan membuatnya harus kerja keras selama berhari-hari. Bau tidak sedap dan kotoran yang menempel bikin proses pembersihan makin berat.
“Yang paling capek ini barangnya banyak lumpur. Barang juga banyak yang rusak, capek. Tidur juga jadi nggak nyenyak,” jelasnya dengan nada lirih.
Setelah banjir surut, Ida harus membuang banyak barang yang rusak dan tidak bisa diselamatkan. Dia juga harus memperbaiki rumahnya yang rusak akibat banjir. Proses ini butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Rumah Peninggalan Orang Tua, Alasan Ida Bertahan di Rawajati
Walaupun sering kebanjiran, Ida tetap bertahan di Rawajati. Dia nggak mau pindah dari rumah yang sudah jadi kenangan dari orang tuanya. Rumah itu bukan cuma sekadar bangunan, tapi juga simbol keluarga dan sejarah hidupnya.
“Karena kan rumahnya orang tua. Daripada ngontrak, ya sudah di sini saja,” katanya.
Selain itu, Ida juga mikirin soal ekonomi. Harga rumah di Jakarta yang makin mahal bikin dia kesulitan mencari tempat tinggal yang lebih aman dan layak.
“Kalau mau pindah, ke mana? Harga rumah sekarang mahal sekali. Lebih baik bertahan di sini, meski harus menghadapi banjir setiap tahun,” ujarnya.
Kisah Ida cuma satu dari sekian banyak cerita pilu warga Rawajati yang terkena dampak banjir. Mereka adalah gambaran ketahanan dan kepasrahan di tengah bencana yang seolah tak berujung. Pemerintah dan masyarakat perlu kerja sama untuk mencari solusi permanen agar Rawajati nggak lagi jadi langganan banjir. Penanganan banjir harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari hulu sampai hilir, dengan melibatkan semua pihak terkait. Cuma dengan begitu, Rawajati bisa terbebas dari ancaman banjir dan warganya bisa hidup dengan aman dan nyaman. Pemerintah daerah sekarang lagi mempertimbangkan relokasi warga di bantaran sungai Ciliwung sebagai salah satu solusi jangka panjang, walau ada berbagai macam tanggapan dari masyarakat. ***