Startup Gagal Karena Kecurangan, Pelajaran Berharga untuk Mahasiswa dan Kampus
Startup Gagal Karena Kecurangan, Pelajaran Berharga untuk Mahasiswa dan Kampus

Startup Gagal Karena Kecurangan, Pelajaran Berharga untuk Mahasiswa dan Kampus

Sajikabar – Beberapa waktu belakangan, dunia startup, khususnya di sektor aquatech dan fintech, dikejutkan oleh serangkaian skandal keuangan yang cukup bikin geleng-geleng kepala. Kejadian ini jadi tamparan keras sekaligus pelajaran berharga, terutama buat para mahasiswa dan institusi pendidikan, tentang betapa pentingnya etika bisnis dan tata kelola perusahaan yang sehat.

Pelajaran Pahit dari Kasus Fraud Startup

Kasus-kasus penipuan yang menjerat startup aquatech dan fintech ini bisa jadi bahan diskusi yang menarik sekaligus penting di kampus. Prof. Gatot Soepriyanto, pakar Fraud Examination dari Binus University, menekankan perlunya memasukkan etika bisnis dan tata kelola perusahaan ke dalam kurikulum kewirausahaan.

“Kurikulum kewirausahaan itu wajib hukumnya memasukkan materi etika bisnis, tata kelola, dan investasi keuangan. Mahasiswa juga perlu bedah kasus-kasus penipuan nyata biar paham dampaknya,” ujar Prof. Gatot dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini. Menurutnya, studi kasus kecurangan bisa jadi simulasi yang sangat bermanfaat di kelas.

Segitiga Fraud: Tekanan, Celah, dan Pembenaran Diri

Prof. Gatot menjelaskan, biasanya ada tiga faktor utama yang memicu terjadinya fraud di startup, yang dikenal dengan teori “segitiga fraud”. Pertama, tekanan, seringkali berupa target pertumbuhan yang terlalu tinggi. Kedua, celah, yang muncul karena kontrol internal yang lemah. Ketiga, rasionalisasi, yaitu upaya membenarkan tindakan yang sebenarnya tidak etis.

“Tekanan buat ngejar target, ditambah pengawasan yang longgar dan upaya membenarkan diri, itu kombinasi maut yang bikin fraud gampang terjadi,” jelasnya.

Ketika CEO atau Founder Jadi Sumber Masalah

Perilaku dan budaya yang ditanamkan oleh para pemimpin, terutama CEO atau founder, punya pengaruh besar terhadap tata kelola startup. Kalau integritas dikorbankan demi kepentingan pribadi, organisasi rentan banget terjerumus ke tindakan yang menyimpang.

Contohnya, ada kasus CEO startup aquatech yang memanipulasi laporan keuangan demi menutupi kerugian besar. Laporan palsu ini sukses mengelabui puluhan investor dengan mencatatkan pendapatan fiktif ratusan juta dolar AS! Alhasil, si CEO dicopot dari jabatannya dan perusahaan harus diaudit forensik.

Di sektor fintech juga ada cerita, seorang CEO diduga kuat mengalihkan dana perusahaan ke rekening pribadinya dan menggunakan aset perusahaan untuk kepentingan lain tanpa izin dewan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) langsung mencabut izin perusahaan itu, dan si CEO kini sedang diburu.

Kasus lainnya, manajemen sebuah startup diduga membuat pinjaman fiktif atas nama petani, dan dananya disinyalir masuk ke kantong pribadi. Kasus ini sudah dilaporkan ke polisi atas dugaan penipuan.

Tata Kelola Amburadul di Startup

Lemahnya tata kelola jadi masalah utama di balik kasus-kasus fraud startup. Banyak startup yang nggak punya komisioner atau direksi independen yang tugasnya mengawasi CEO. Audit internal juga seringkali nggak mendalam dan cuma dilakukan setahun sekali, alhasil manipulasi laporan keuangan bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa ketahuan.

Kurangnya pengawasan dari pihak berwenang juga jadi sorotan. Beberapa perusahaan izin usahanya baru dicabut setelah skandalnya meledak. Ini menimbulkan pertanyaan, seberapa efektif sih pengawasan terhadap startup yang berkembang pesat?

“Tata kelola yang baik itu benteng pertahanan pertama buat mencegah fraud. Startup harus investasi di sistem kontrol internal yang kuat dan melibatkan pihak independen dalam pengawasan,” kata seorang pengamat tata kelola perusahaan.

Budaya ‘Fake It ‘Til You Make It’ dan Janji-Janji Langit

Budaya “fake it ‘til you make it” yang seringkali melekat pada startup, apalagi pas lagi pitching ke investor, juga perlu dikaji ulang. Janji-janji yang berlebihan atau nggak realistis, selain nggak etis, bisa dianggap sebagai penipuan terhadap calon investor.

“Jualan visi itu penting, tapi harus berdasarkan data dan proyeksi yang realistis. Ngasih janji yang nggak bisa ditepati cuma bakal merugikan semua pihak,” tegas seorang pakar investasi.

Kasus-kasus kecurangan startup ini jadi pengingat, pertumbuhan yang cepat nggak boleh sampai mengorbankan etika dan tata kelola yang baik. Pendidikan dan kesadaran tentang risiko fraud perlu ditingkatkan, terutama di kalangan mahasiswa dan calon pendiri startup. Harapannya, ekosistem startup bisa tumbuh berkelanjutan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Sementara itu, pihak berwenang juga diharapkan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik yang merugikan. ***

Tentang Nando Riyadi

Hi everyone! Nama saya Nando dan saya passionate untuk berbagi ilmu pengetahuan. Education is the key to success, yuk kita belajar bersama!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Berita Terbaru