Waduh, Sri Mulyani Bikin Industri Manufaktur Ketar-Ketir?
Waduh, Sri Mulyani Bikin Industri Manufaktur Ketar-Ketir?

Waduh, Sri Mulyani Bikin Industri Manufaktur Ketar-Ketir?

Sajikabar – Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan kita, baru-baru ini mengutarakan kekhawatirannya soal laju industri manufaktur dunia yang tampak melambat. Sontak, muncul pertanyaan: apakah industri manufaktur di Indonesia juga bakal ikut merasakan dampaknya? Dalam rapat kerja bareng Komisi XI DPR, Kamis (3/7/2025) malam, Bu Sri memaparkan analisisnya soal bagaimana faktor-faktor dari luar negeri bisa menggoyahkan industri dalam negeri.

Sri Mulyani Waspadai Manufaktur Global yang Melemah

Yang jadi perhatian utama adalah aktivitas manufaktur global yang sedang lesu. Sri Mulyani menekankan bagaimana geopolitik dan ekonomi dunia saling memengaruhi dan menciptakan ketidakpastian. Menurutnya, kondisi ini nggak bisa dianggap remeh, karena berpotensi besar memengaruhi kinerja industri manufaktur di Indonesia. “Aktivitas manufaktur di dunia memang sedang melemah, mengalami kontraksi. Ini juga nanti akan terasa di Indonesia,” tegasnya. Pernyataan ini bukan cuma peringatan, tapi juga ajakan untuk bersiap dan menyusun strategi untuk menghadapinya.

Apa yang Bikin Manufaktur Loyo?

Perang Tarif dan Konflik di Mana-Mana

Salah satu penyebab utama yang dilihat Sri Mulyani adalah perang tarif yang tak kunjung usai antar negara-negara besar. Perang tarif ini mengacaukan rantai pasokan global dan membuat biaya produksi jadi lebih mahal, yang ujung-ujungnya menekan keuntungan perusahaan manufaktur. Selain itu, konflik global yang meluas, contohnya perang Israel versus Iran yang berpotensi menyeret negara lain, menambah ketidakpastian ekonomi. Konflik semacam ini bukan cuma mengganggu stabilitas regional, tapi juga berdampak pada harga komoditas dan investasi global.

PMI yang Terus Turun

Ada indikator penting yang mengonfirmasi adanya pelemahan, yaitu kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI). PMI ini semacam alat ukur untuk melihat bagaimana kondisi aktivitas manufaktur. Kalau nilainya di bawah 50, berarti ada kontraksi atau penurunan aktivitas. Data menunjukkan kalau PMI Manufaktur Global sudah di bawah 50 sejak Mei 2025 dan terus menurun. Bahkan, PMI Manufaktur Indonesia juga ikut turun drastis. “PMI Manufaktur Indonesia sudah di posisi 46,9 pada Juni 2025, sebelumnya di Mei 2025 masih di level 47,4,” jelas Sri Mulyani. Penurunan ini jadi lampu kuning karena menunjukkan aktivitas manufaktur di Indonesia sedang tertekan.

Efeknya ke Industri Manufaktur Kita?

Dampak dari lesunya manufaktur global mulai terasa di berbagai sektor industri di Indonesia. Investasi dan perdagangan global yang diperkirakan akan semakin melemah menjadi tantangan tersendiri. Beberapa indikator menunjukkan adanya perlambatan aktivitas ekonomi, yang langsung atau tidak langsung memengaruhi kinerja sektor manufaktur. Pertumbuhan ekonomi yang melambat bisa mengurangi permintaan domestik dan ekspor, yang pada akhirnya akan menekan produksi dan pendapatan perusahaan manufaktur.

Sektor Apa Saja yang Sudah Kena Imbas?

Penjualan Semen yang Naik Turun

Salah satu sektor yang menunjukkan adanya fluktuasi adalah penjualan semen. Data menunjukkan bahwa penjualan semen turun pada Maret 2025 sebesar 23,6% dibandingkan tahun sebelumnya (yoy). Sempat naik pada April 2025 sebesar 29,5% yoy, tapi kemudian turun lagi pada Mei 2025 sebesar 3,8% yoy. Fluktuasi ini menandakan adanya ketidakpastian di sektor konstruksi, yang merupakan salah satu konsumen utama semen.

Penjualan Mobil yang Merosot

Sektor otomotif juga mengalami tekanan. Data penjualan mobil menunjukkan penurunan yang cukup dalam pada Mei 2025. Penurunan ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti penurunan daya beli masyarakat, kenaikan harga bahan bakar, atau perubahan selera konsumen. Penurunan penjualan mobil bisa berdampak besar pada industri manufaktur otomotif dan sektor-sektor terkait, seperti industri komponen dan suku cadang. “Penjualan mobil mengalami penurunan yang cukup dalam di bulan Mei, dan aktivitas manufaktur Indonesia semuanya masuk dalam zona kontraktif,” ungkap Sri Mulyani, menegaskan bahwa dampak global mulai meresap ke komponen pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Potensi Inflasi Mengintai

Harga Minyak Dunia Bisa Melonjak Karena Konflik

Selain pelemahan aktivitas manufaktur, Sri Mulyani juga mewaspadai potensi tekanan inflasi. Konflik geopolitik, terutama di Timur Tengah, bisa menyebabkan harga minyak dunia melonjak. Soalnya, kawasan tersebut merupakan produsen utama minyak. Kalau ada konflik, pasokan minyak bisa terganggu, yang ujung-ujungnya akan menaikkan harga minyak. Lonjakan harga minyak bisa memicu inflasi karena biaya transportasi dan produksi akan meningkat. “Saat Israel menyerang Iran yang kemudian didukung AS, menyebabkan harga minyak sempat melonjak 8% saat pengeboman, tapi kemudian bisa bergerak menurun lagi,” jelasnya.

Menanggapi situasi ini, pemerintah diharapkan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif dari pelemahan manufaktur global. Dukungan untuk industri dalam negeri, stabilisasi harga, dan diversifikasi pasar ekspor bisa jadi pilihan yang dipertimbangkan. Menjaga stabilitas ekonomi makro juga penting untuk menjaga kepercayaan investor dan daya beli masyarakat. Selain itu, perlu ada koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menghadapi tantangan ini bersama-sama. Dengan langkah antisipatif dan kerja sama yang solid, diharapkan industri manufaktur Indonesia bisa tetap kuat dan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. ***

Tentang Putri Yustika

Hi! Perkenalkan nama saya Putri. Saya passionate banget sama dunia finance dan investasi. Di sini saya akan share insight dan pengalaman saya dalam mengelola keuangan. Let's grow together!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Berita Terbaru